Budaya sensor mandiri? Mungkin banyak diantara teman-teman pembaca blog sederhana ini mengenai sebuah gerakan yang dilakukan oleh lembaga sensor film baru-baru ini. Sama! Sayapun baru mengetahui mengenai sebuah gerakan yang dinamakan Budaya Sensor Mandiri ini dari acara Roadblog 10 Cities yang diadakan di 10 kota tersebut.
Menurut saya pribadi, budaya sensor mandiri ini sebenarnya sangat penting untuk dilakukan oleh masyarakat luas khususnya di Indonesia. Kenapa? Karena seharusnya, setelah menerapkan budaya ini mereka bisa memilih sendiri tayangan yang cocok sesuai usia penonton yang dituju oleh sineas.
Apa sih sebenarnya yang menyebabkan pentingnya budaya sensor mandiri kita terapkan dalam kehidupan kita sehari-hari? Ini lebih dikarenakan oleh dunia perfilman atau pertelevisian itu sendiri, yang tidak hanya bisa dilihat oleh semua orang yang cukup umur tetapi juga bisa dilihat oleh semua orang di Indonesia.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa, banyak acara di televisi yang ditonton oleh semua orang. Padahal, pada kenyataannya acara tersebut hanya boleh dilihat oleh seseorang yang sudah berumur diatas 21 tahun misalnya. Disanalah peran kita untuk memberlakukan budaya sensor mandiri ini.
Bayangkan jika acara yang dikhususkan untuk seseorang berusia 21 tahun keatas dapat dilihat oleh anak kita/saudara/siapapun yang masih dibawah umur dan dilihat terus menerus. Apa yang akan terjadi? Bisa saja mereka semua meniru adegan yang ada didalam tayangan tersebut.
“Bila kesadaran sensor mandiri telah maju, apa pun film yang masuk tidak akan menimbulkan kegaduhan,” kata Ketua LSF, Ahmad Yani Basuki, dalam konferensi pers Peringatan 100 Tahun Sensor Film Indonesia di Gedung Film Usmar Ismail, di Jakarta, Rabu.
Kalau dilihat dari kutipan diatas, memang benar. Andai saja kita sebagai seseorang yang sudah memahami dan menjalani budaya sensor mandiri terlebih dahulu, sepertinya kita bisa membantu meringankan tugas lembaga sensor film ataupun pemerintah untuk lebih disiplin dalam hal memilih tayangan yang sesuai.
Lantas, bagaimana kita melakukan sensor mandiri tersebut? Ambil saja contoh yang mudah dan pasti kita alami bersama. Pasti kalian pernah datang ke bioskop untuk melihat film yang baru rilis. Pasti disana ada batasan umur yang tertera sebelum kita membeli tiket, bukan?
Contoh pada gambar diatas. Rating yang terdapat disetiap pemutaran film adalah R13 dan D17. Itu tandanya, hanya kita yang berusia diatas 13 tahun yang boleh melihat tayangan tersebut. Untuk yg D17, hanya untuk yang berumur 17 tahun keatas. So, gimana kalau kita membawa seorang saudara yang berusia 16 tahun ingin melihat film yang berjudul rumah pasung?
Well, mungkin bagi sebagian orang akan membiarkan saja untuk melihatnya karena mungkin umurnya hanya terpaut 1 tahun saja. Tetapi, bagaimana jika kita melakukan budaya sensor mandiri? Tentu, kita harus melarang untuk menonton film tersebut, dan alangkah baiknya untuk melihat film yang lain yang sesuai dengan batasan umur yang berikan.
Semudah itu? Ya, memang budah apabila kita hanya berbicara. Bagaimana untuk melakukannya? Gampang! Mulailah dari diri sendiri untuk mencobanya, karena sesuatu yang baik dalam diri kita akan terasa sangat sulit dilakukan apabila kita tidak memulainya. Setuju?
Lantas, bagaimana dengan tayangan yang berada di youtube? Saya sempat menanyakan perihal ini kepada salah seorang pembicara dari lembaga sensor film, untuk ranah youtube sendiri bukanlah kewenangan dari lembaga sensor film dan ini sudah seharusnya menjadi tugas bersama dengan menkominfo untuk membatasi tayangan yang ada didalamnya.
Tetapi, apa boleh buat. Sepertinya memang harus dilakukan dari dalam diri sendiri dan orang terdekat kita untuk melakukan budaya sensor mandiri itu sendiri. Oleh karena itu LSF tak hanya bergerak di dunia pertelevisian dan perfilman saja, melainkan juga bergerak di ranah dunia maya.
Sebagai masyarakat Indonesia, maka sudah sepantasnya kita mendukung budaya sensor mandiri ini untuk kebaikan bersama. Jadi, bagaimana caramu untuk meningkatkan budaya sensor mandiri ini? Saya tunggu ceritamu dikolom komentar ya, sahabat!
lebih milih ke tayangan yang friendly di usia anak2 sih…
kalaupun main youtube paling juga sekedar lagu2 anak…maklum baru usia 8 bulan babynya dan jarang juga nonton TV. hehehe…
Yups, memang harus selektif sekarang untuk mengajak anak untuk menonton acara di seusianya, mba. Hehe :)
iya sih tapi masih banyak ortu yg mengajak anak nonton film dewasa, saa ada adegan yang gak boleh dilihat anak2, anak2 disuruh nutup matanya. Ngenes juga sih aku lihatnya. Kenapa harus ngajak anak ya
Mungkin, mereka memikirkan ego masing2 mba. Tapi ga tau juga sih. Harusnyakan bisa mengontrol itu :)
emang banyak banget film indonesia yang adegannya hot-hot yang tidak patut di tonton oleh anak-anak. harus banyak dipernaiki dilm2 di indonesia.
Satu sisi, memang harus diubah kedepannya. Sisi lain, kita juga harus bisa membatasi anak untuk melihat tayangan televisi / bioskop yang beredar sekarang :)